Oleh alm. Ust Rahmat Abdullah (Pendiri / Dewan Syariah LAZ TAMU )
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS.
AI-Ahzab 70)
-
Ya, sekarang tak
ada waktu lagi untuk berbasa-basi. Perang di segala bidang telah mencengkeram,
merambah dan melumpuhkan seluruh jaringan saraf ummat. “Mereka akan terus selalu
memerangi kamu sampai berhasil mengembalikan kamu dari agamamu, bila mereka
mampu melakukannya…” (QS.AI-Baqarah:217).
-
Jiwa yang luka,
tertawan dan mati, wujud dalam angka-angka hutang luar negeri yang fantastik,
jutaan pemuda yang bergelimang madat, terpuruk di ranjang kematian oleh AIDS,
rumah-tangga yang hancur oleh zina di seluruh atau sebagian besar elemennya.
Perang apa yang dapat kita lakukan sementara barisan terbengkalai,
bertikai-pangkai dan para komandan mabuk dunia?
-
Perang Istilah
Betapa kebencian
telah memenuhi lidah mereka dan apa yang disembunyikan hati mereka jauh lebih
besar (QS. Ali Imran: 118). Seorang pemerhati menghitung, bagaimana seorang
psikolog rohaniawan di Jawa Barat, selalu menyebut nama-nama Ahmad dan
setaranya untuk contoh figur yang buruk dan menyebut nama Dadap dan Waru bagi
yang positif, dalam ratusan tajuk di surat -kabar benalu yang berkarakter sama
dengan tampilan elegan dan bermartabat. Masyarakat pengguna bahasa menerima
begitu saja idiom-idiom tanpa menyadari dendam dan kebencian apa yang
melatar-belakanginya atau kebodohan yang melandasinya.
-
Di zaman
Rasulullah SAW, kaum Yahudi kerap memanggil beliau dengan Raina. Dalam bahasa
Arab artinya ‘Perhatikan kami’, sementara mereka memaksudkannya ‘engkau gila’
dengan memendekkan Ra. Maka, Allah melarang kaum beriman mengatakan kalimat-kalimat
bermakna ganda dengan tujuan negatif tersebut (QS. Al-Baqarah: 104). Karenanya,
demi menjaga diri agar tidak menjadi keledai dungu sebaiknya publik tak lagi
menggunakan idiom-idiom
menyesatkan seperti -di antaranya- berikut ini.
-
Sunat. Ejekan dalam
idiom baru, ketika menyebut perampokan gaji pegawai negeri atau bantuan sosial
dengan sebutan sunat. Apa hubungan sunat atau khitan sebagai sebagian dari
sifat-sifat fitrah (khishalul
fithrah) dari bapak para nabi, Ibrahim AS, dengan perampokan atau
korupsi yang begitu jahat dan telah menyengsarakan bangsa ini? Terlalu gegabah
menganalogikan pemotongan gaji guru tanpa hak dengan pemotongan sedikit
bagian tubuh, sebagai pelaksanaan syari’ah.
-
Angin surga. Entah atheis
mana yang meluncurkan istilah ini, untuk ungkapan dusta, janji palsu dan
sejenisnya. Mungkinkah disamakan dusta pejabat yang membuai rakyat dengan
janji-janji kosong, dengan angin surga yang memang haq. Angin yang menghembus
daun-daun surga, menimbulkan suara yang lebih merdu dari musik mana pun.
Membuat siapapun yang menderita seumur hidupnya di dunia, akan mengatakan tak
pernah merasakan derita, selain senang dan bahagia, hanya dengan satu
hembusannya yang menghapuskan segala lelah dan melenyapkan semua takut.
-
Sah-sah saja. Mereka gunakan
istilah ini bagi kesetaraan hak untuk bersikap atau mengungkapkan pikiran dan
perasaan. Bagaimana mungkin klaim sah-sah saja dibiarkan bergulir untuk cinta
sejenis, seks bebas, selingkuh dan berbagai jenis kefasikan. Beradablah wahai
peminjam kata, karena sah itu istilah Islam untuk segala hal yang mencukupi
syarat dan rukunnya. Dari sudut mana berkata fasik, bertindak maksiat dan
melecehkan agama disebut sah-sah saja?
-
Paman Sam. Sebegitu
banggakah dunia memanggil mereka paman? Yang selama setengah abad lebih
melindungi Zionis merampasi tanah Palestina? Yang berpesta arak di jalan-jalan
seluruh negeri dengan kegembiraan luar biasa, saat Hasan Albanna dibunuh? Atau
yang membesarkan seorang belia dinasti Saudi di California, kemudian sang anak
pulang membunuh pamannya (Alm) Raja Faisal, di hari 12 Rabiul Awal hampir 30
tahun lalu? Fakta hari ini membuka peluang keponakan yang marah memelintir nama
besar ini menjadi negeri Paman Racun (Samm;
racun, Arab) yang diperintah presiden-presiden Bush.
-
Wanita Tuna Susila, Kupu-kupu Malam, Wanita Panggilan. Mengapa hanya perempuannya disebut pelacur dan tak
ada sebutan pelacir bagi laki-Iaki yang menjerumuskan mereka? Sebegitu
terhormatkah pelacur laki-Iaki dan perempuan sehingga dinaungi HAM dan
diperhalus sebutan mereka? Sementara warga yang bertahan dari pembantaian,
penghancuran rumah tinggal, kedai dan masjid mereka, disebut teroris?
-
Idola. Kita sangat mencintai Rasulullah SAW, tetapi tidak menjadikannya idola
(idol),
alias berhala atau sembahan. Kecuali bila itu khusus bermakna bayang-bayang di
cermin. Dan itu ta’wil
yang jauh. Terlebih-lebih mengidolakan selebriti.
-
Mubadzir Istilah
-
Demikianlah seharusnya penghematan dilakukan atas
idiom-idiom salah urus, kebocoran dana atau penyimpangan. Katakan itu
korupsi dan perampokan. Publik mungkin sulit mengembalikan waria ke asal
istilahnya: banci. Atau menggantikan sebutan petawur, dengan pembunuh massal
yang pengecut. Atau istilah bantuan luar negeri dengan
hutang berbunga.
-
Mereka telah jadi
pemenang dalam perang opini. Hutan-hutan kita tak lagi cukup memasok kertas
pelajaran, karena habis oleh koran dan majalah bugil. Karenanya jangan ditambah
lagi dengan istilah-istilah mubadzir.
-
Demikian pula
terhadap lagu-Iagu dengan arti ganda: dengan makna sejati atau menjurus jurus
porno. Bahkan nasyid yang tak membangkitkan ruhul jihad, tak mengangkat
kemuliaan nama Allah, kecuali goyangan yang tak pas bagi kemuliaan-Nya atau
membangkitkan sikap khidmat kepada Rasul-Nya. Sengaja atau bodoh, sinetron
sering menghalalkan berbagai perkara haram. Klaim laki-Iaki atas anak zina yang
diasuh perempuan yang dizinainya sebagai anak sendiri dengan akting yakin dan
dukungan hukum, adalah sosialisasi penghalalan zina dengan segala implikasinya.
la telah putuskan anak itu dari hak perwalian, perwarisan dan penghubungan
nama pada namanya, dengan bin atau binti.
-
Di buku-buku pelajaran sekolah, bukan lagi saat
membiarkan kalimat. ‘‘Alam
telah memberikan kita dzat antibody untuk mengusir benih-benih penyakit”
dan sejenisnya. Kesombongan ilmiah terbukti telah menghasilkan angkatan salah
tingkah atau generasi arogan. Jangan lagi cinta dijadikan tuhan, yang atas
namanya sepasang asyik-masyuk bunuh diri karena dihalangi orang tua. ‘Cinta tak membedakan suku,
bangsa, warna kulit, kelas sosial’, memang dapat diterima. Tetapi
menambahkan ‘Tak
membedakan agama‘, adalah jerat iblis yang terbukti berhasil
memurtadkan banyak remaja oleh buaian birahi yang dikemas jubah cinta dan
direstui diam-diam sebagai sarana penyebaran agama sesat.
-
Kekosongan
aktifitas penanaman nilai-nilai dasar, kesibukan yang sangat berlebihan di depan
layar kaca hiburan, kemudahan hidup yang berorientasi asal senang,
ketidakpedulian orang tua, telah menjadi pupuk penyubur yang kelak akan
menghasilkan panen besar kegamangan hidup. lahirlah budak-budak nafsu yang kehilangan
taqwa dan malu.
-
Karenanya, dakwah
menuju Allah adalah semulia-mulia ucapan. Kecemerlangan ma’rifah kepada
Allah, pengenalan identitas diri sebagai ummat pemilik aqidah, risalah, visi,
missi dan tradisi, adalah password
menuju kebangkitan.
-
Tarbawi Edisi 46 Th.
4/Sya’ban 1423 H/24 Oktober 2002 M
No comments:
Post a Comment