Kuliner: Mimpi Makan Enak Orang-orang tak Punya

 Di tengah meriahnya kuliner orang-orang kaya, sejenak lihatlah ”kuliner” orang-orang miskin. Mimpi mereka sederhana. ”Bila ada uang, saya cuma ingin membelikan telur dan ikan tongkol untuk anak-anak,” begitu kata salah satu mereka. Tulisan ini merupakan liputan Tim Majalah Tarbawi: Rahmat Ubaidillah, Yenni Suswanti, dan Ahmad Zairofi AM, dan terbit pada edisi 187. 



Panas terasa cukup terik, ketika Tarbawi memasuki wilayah Tangerang Utara. Tepatnya di Kecamatan Mekar Baru, Desa Gandasari. Kebanyakan mata pencaharian warga Gandasari adalah buruh tani. Mereka menggarap lahan–lahan yang bukan milik mereka sendiri. Sistem pengairan sawah yang lebih banyak mengandalkan turunnya hujan, disebut juga sawah tadah hujan, membuat masa panen daerah itu hampir hanya satu tahun sekali. Maka tidak heran sepanjang Tarbawi melewati daerah ini, banyak terlihat sawah – sawah yang kering dan tidak ditanami padi atau tumbuhan lainnya.

Bila musim kemarau tiba, banyak penduduk desa itu yang beralih profesi menjadi kuli atau membuat bata. Dari sekitar 1400 kepala keluarga yang menjadi penduduk desa itu, 800 kepala keluarga di antaranya adalah keluarga miskin. ”Hampir setengahnya penduduk di sini termasuk kategori penduduk miskin,” ujar Supardi, Kepala Desa Gandasari. Dikategorikan demikian karena pendapatan penduduk yang masih di bawah 500 ribu sebulan. Supardi menambahkan, walaupun penghasilan utamanya dari pertanian, tapi kondisi teknis pengairan di daerah itu cukup memprihatinkan.
Mungkin ada yang merasa aneh, di tengah peradaban modern seperti yang tampak gemerlap dalam siaran televisi, miskin artinya ada orang-orang yang  masih susah untuk mendapat apa yang bisa dimakan. Tapi begitulah kenyataannya.


Yani (56 tahun), seorang Ibu di Gandasari itu, misalnya. Di depan rumahnya yang terbuat dari bilik bambu, terlihat padi yang sedang dijemur. Sehari–harinya Yani mengumpulkan sisa – sisa padi yang tercecer di sawah atau di jalan ketika musim panen tiba. Padi yang dikumpulkannya bersama anak–anaknya sampai berhari–hari  itulah yang menjadi makanan mereka sehari–hari. ”Padi yang dikumpulkan ini yang buat dimakan, bukan untuk dijual lagi,” ujar Yani. Memang, selama seminggu gotong royong mereka bisa mengumpulkan padi sekitar satu karung. Tapi itu hanya terjadi pada saat panen tiba. Dan itulah cadangan makan mereka hingga musim panen berikutnya.
Yani mengaku untuk bisa bertahan hingga melewati masa krisis panen yaitu pada musim kemarau, kadang mereka membeli nasi aking dan memakannya setelah dicampur air terlebih dahulu. Untuk menemani nasi aking, mereka masak sayuran yang tumbuh liar di sawah seperti genjer dan kangkung yang dimintanya dari pemilik sawah. Dengan penghasilan suaminya sekitar 10 ribu sehari, mereka benar-benar harus berbagi dengan enam orang anaknya di rumah itu. Jangankan makan daging, menurut Yani, ikan bandeng saja sudah menjadi hidangan yang cukup mewah bagi Yani dan keluarganya.

Makanan Sisa
Di tempat lain di daerah Bekasi, siang itu. Di kampung Ujung Harapan yang hanya berjarak sekitar 30 km dari daerah pinggir ibukota Jakarta, terlihat sebuah perayaan pesta pernikahan sederhana, makanan yang disajikan juga tidak terlalu mewah. Hanya ada sayur dan opor ayam sebagai makanan untuk tamu. Sekitar lima anak – anak usia sekolah dasar bertelanjang kaki sibuk mengambil piring kotor sisa para tamu menikmati hidangan. Namun mereka mengambil piring kotor bukan untuk dicuci. Mereka mengambil sisa – sisa makanan para tamu untuk mereka makan. Di tempat agak ke belakang dari para tamu, mereka kumpulkan sisa – sisa makanan untuk mereka santap lagi bersama teman yang lain. Sesekali terdengar celotehan mereka tentang apa yang didapat, Asyik, aku dapat sisa ayam yang masih banyak dagingnya.”

Miris. Dengan penuh keriangan mereka terus melakukan aktifitasnya, mengumpulkan makanan sisa. Pemilik hajatan yang kondisi ekonominya tidak jauh lebih baik dari mereka juga tidak bisa mencegah karena memang anak – anak itu butuh makan. “Kalau di daerah sini ada hajatan pernikahan, pakai ayam itu sudah mewah. Biasanya cuma nasi sama sayur lodeh, “kata Mak Iyus, pemilik hajatan itu.
Masih di Bekasi, tepatnya di daerah pemulung Bantar Gebang, Tarbawi menemui keluarga Awi (50 tahun). Ia dan lima anaknya tinggal di rumah yang  lebih tepat disebut ‘bedeng’, karena hanya terbuat dari sisa–sisa kayu. Penghasilannya yang tidak tetap sekitar 10 sampai 30 ribu sehari membuat bapak lima anak ini harus berfikir keras untuk bisa menghidupi keluarganya. Di dapurnya terlihat tumpukan batu bata yang sudah menghitam untuk dijadikan tempat perapian. ”Pakai kayu untuk masak, soalnya minyak mahal,” kata istrinya. Menu keseharian mereka juga sangat sederhana. Yang Tarbawi lihat hanya gorengan tepung, sayur dan sedikit sambal. ”Kalau pendapatan lagi sedikit ya makan nasi panas sama garam. Tapi alhamdulillah biar begitu anak– anak tetap mau,” ujar Awi. ”Keinginan untuk makan enak sih ada tapi kondisinya seperti ini gimana,” tambahnya.


Baginya bisa menyambung hidup dengan keluarganya sudah sangat disyukuri. ”Biarpun miskin saya tetap bersyukur pada Allah, yang penting cari makanan yang baik, biar anak–anak nggak sakit, ”tambahnya. Makanya, Awi tidak pernah mengambil sisa – sisa sampah makanan yang memang ada di lokasi pembuangan sampah ini. ”Kalau warga lain mungkin selalu ambil sisa sampah makanan untuk dimakan, tapi saya tidak mau ambil karena takut banyak penyakitnya. Asal sehat makan sama garam tidak apa–apa,” jelasnya.

Di sela–sela pembicaraan dengan Tarbawi, Dede, anak bungsu mereka minta  makan. Tarbawi melihat Dede menyantap makan siangnya dengan lahap, dengan kuah sayur yang berisi sedikit dedaunan, tepung goreng yang tak layak disebut bakwah, dan sesekali dikerubungi lalat – lalat yang memang menjadi teman keseharian mereka di tempat pembuangan sampah.


Makan Nasi hanya bisa dua kali dalam seminggu
Di Bogor Selatan, Tarbawi menemui Mulyadi (60). Pekerjaan sehari–harinya penjual minyak wangi. Ia mengayuh sepedanya ke daerah Empang, Bogor untuk menjajakan minyak wangi dengan menempuh kurang lebih 30 km setiap harinya. ”Saya berjualan naik sepeda, karena tidak mampu untuk naik angkot,” kata Mulyadi. ”Sering juga pulang hanya mendapatkan uang Rp. 3000. Kalau sudah begitu, biasanya saya meminta beras kepada saudara,” tambahnya.

Setelah menikah hampir 30 tahun. Ia dikaruniai 12 Orang anak. Dua sudah bekerja. Empat masih bersamanya tinggal di rumah ukuran 2 x 4 m. Rumah itu warisan yang diterima istrinya. Tidak ada listrik, lantai rumahnya masih tanah. Hanya sedikit bagian yang disemen acik. Kalau ke MCK harus ke masjid. Enam orang anak lainnya meninggal dunia saat masih kecil. “Kata dokter anak–anak saya meninggal akibat kondisi kesehatan dan gizi mereka yang kurang baik. Mungkin  karena asap lampu tempel  kali ya? Juga kurang makanan bergizi, “jelasnya.

“Kalau mikirin  anak–anak  saya suka sedih,”  tutur Mulyadi. “Untuk urusan makan, kami lebih prihatin. Dalam  satu minggu hanya  dua kali kami bisa makan nasi plus ikan asin  bakar. Selebihnya  makan bubur yang dibubuhi  garam dan kecap,” katanya.

Menurut Mulyadi, anak-anaknya tumbuh dengan kondisi yang buruk. Mereka  sering lesu. “Mereka sering protes, kenapa sih makan bubur melulu?” Saya bilang, “Nanti kalau ada acara Rajaban kita bisa makan daging. Nanti kalau Bapak ada rezeki, kita beli sayur.”
Mulyadi hanya punya harapan sederhana. “Kalau  ada rezekinya  saya ingin sekali  anak – anak saya bisa makan nasi setiap harinya. Saya  ingin mereka bisa makan sayur, tempe, tahu dan daging ayam paling tidak  seminggu sekali.”

Mereka bisa makan sedikit enak kalau ada tetangga  yang ngasih, Karena itu, anaknya yang bungsu sering bilang, ‘Kalau bisa makan seperti ini terus (seperti yang dikasih tetangga) enak kali ya pak.”
“Saya  hanya bisa tersenyum, tapi hati rasanya teriris. Kami sangat jarang makan daging. Saat  seperti  lebaran, ada acara Maulid, Rajaban atau kondangan kami baru bisa makan daging.” Karena itu, anak–anak Mulyadi sangat senang kalau musim Maulid dan Rajaban. Sebab, itu artinya saat untuk bisa makan daging telah tiba.

Ketika ditanya terkait dengan datangnya Ramadhan, Mulyadi dengan tatapan kosong menjawab, “Sebelum  Ramadhan ini, saya ingin sekali ngajak anak–anak  ke rumah makan. Saya ingin mereka senang. Paling tidak sekali seumur hidup mereka, sebelum saya meninggal dunia. Anak yang bungsu pingin sekali makan di mall, sampai saat ini belum terkabulkan. Semoga  mereka bisa bersabar.”

Pernah suatu hari semalaman anak-anak Mulyadi tidak bisa tidur karena kelaparan. Paginya  Mulyadi mengajak mereka jalan–jalan hanya untuk mengusir rasa lapar itu. Hal ini sudah beberapa kali ia lakukan. Begitu pun, ia tetap yakin kepada Allah, bahwa Dia lah yang memberi rezeki. “Meski  kondisi saya seperti ini, saya berusaha bersabar dan tetap ridho kepada Allah. Sambil  terus berusaha, saya berdoa semoga Allah memperbaiki keadaan kami.”



Makanan Impian
“Kalau saja ada sedikit rejeki, saya hanya ingin belikan anak – anak telur dan ikan tongkol,” begitu kata Uju, seorang Ibu kepada Tarbawi, yang juga tinggal di sebuah kawasan di Bogor Selatan, ketika Tarbawi tanya apa makanan yang diimpikannya. Ternyata sangat sederhana.  Uju, seorang pembantu rumah tangga. Anak-anaknya terindikasi gizi buruk.

Kehidupannya semakin sulit, setelah suaminya jatuh sakit. “Pernah satu hari penuh, kami sekeluarga tidak makan sama sekali. Hanya ketemu kerupuk. Suami saya bilang sama anak-anak, jangan terlalu sering main di luar. Nanti ngiri melihat banyak orang yang makan enak.” Dalam suasana berat seperti itu, Uju tetap menjaga diri. “Yang terpenting adalah tetap menjaga rasa malu untuk meminta-minta apalagi sampai mencuri. Pantang,” ujarnya.

Setahun setelah suami sakit Uju memutuskan untuk bekerja. “Saya harus membiayai kelima orang anak, satu diantaranya tubuhnya lemas. Karena kondisi makanan yang buruk. Suami juga tergolek lemas tak berdaya. Lama juga saya mencari pekerjaan, sampai akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji 200 ribu per bulan.”

Kondisinya semakin berat, ketika pada tahun 2007, suaminya meninggal dunia. Ia juga harus menanggung ibunya. Kelima anak itu kini menjadi tanggung jawab Uju sepenuhnya. Kecuali yang terbesar, sudah bekerja, bisa memberi tambahan 150.000.

“Uang itu, ditambahkan dengan gaji saya yang 200.000, harus cukup untuk kebutuhan sehari-hari untuk tujuh orang. “Sebenarnya, untuk seminggu saja tidak cukup. Meski begitu, saya berusaha tegar.”
   Kondisi seperti ini membuat menu makanan anak-anak Uju benar-benar apa adanya. “Saya bilang sama anak-anak, ‘Nggak apa-apa nggak makan dengan lauk, yang penting ada nasi.’ Itu yang selalu saya tanamkan.

“Saya sering sedih, kalau melihat acara sinetron ada orang yang sedang makan di restoran. Anak-anak suka melihat dengan mata tajam, ‘Mak hayang itu (Mak mau itu).’ Kalau sudah begitu, saya hanya bisa menangis. ‘Ya Allah semoga kau berikan kami rezeki yang cukup. Semoga para orang kaya itu ingat, kalau ada orang-orang yang tidak mampu di sekitar mereka.”

Tidak jauh berbeda dengan Uju, kehidupan Onasih atau biasa disebut Emak juga memprihatinkan. Di gubuk ukuran 2 x 5 meter, ia tinggal bersama anak, menantu dan cucunya. “Sehari-hari emak lebih sering ketemu ikan asin, tahu, tempe. Biasanya emak bisa makan daging ayam setelah ada kiriman dari anak. Itu pun nggak tentunya waktunya. Paling cepat sebulan sekali. Selebihnya kalau ada acara sedekahan, atau ada pemberian dari tetangga terdekat.”

Uniknya, ada satu hal yang belum kesampaian hingga saat Tarbawi temui. “Emak ingin sekali mencoba mencicipi makan pizza. Sampai kebawa mimpi,” katanya. Emak sering melihat iklan pizza di televisi tetangga atau mendengar kelezatannya dari orang lain. “Kata orang pizza itu enak, Emak jadi pinggiiiiiin, deh,” katanya sambil tertawa.

Mungkin banyak orang yang merasa aneh, bahwa di tengah kemajuan jaman yang riuh ini, miskin artinya bermimpi tentang makan telur atau daging. Dan entah kapan mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Mungkin banyak yang tidak sadar. Bahwa di tengah selera makan kita yang sok elit dan memilih-milih dengan rumit, miskin artinya mimpi membawa  anak-anak untuk makan di rumah makan, meski sekali seumur hidup. Setidaknya bisa menjadi kenangan bila kelak ayahnya telah tiada. Bukan kenangan tentang kemewahan. Tapi kenangan tentang cinta tulus dan kasih sayang orang tua, meski sekadar dalam bentuk memberi makan yang enak, sekali saja. ( http://sekolahmenuliskearifan.com )
Do you Like this story..?

Get Free Email Updates Daily!

Follow us!

No comments:

Post a Comment