Harta hanyalah titipan dari Allah Swt.


Kekayaan itu harusnya dikelola demi kemajuan umat...Bukan sekedar berputar dan dinikmati secara pribadi...Karena kelak di ujung masa....Dia akan ditanyakan...Dari mana...dan untuk apa...??


    Semua sudah mengenal apa itu harta. Tidak ada seorang pun yang belum mengerti tentang hal ini. Kemasyhurannya telah menenggelamkan seluruh penjuru dunia. Kedudukan harta sangatlah tinggi dihati manusia, menjadi sesuatu yang sangat dicintai dan berharga bagi mereka.

Harta adalah satu tuntutan kebutuhan pokok manusia untuk hidup di setiap tempat dan zaman, kecuali di akhir zaman, dimana harta berlimpah ruah sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerimanya karena tidak dapat memanfaatkannya. Waktu itu orang sangat semangat untuk sholat dan ibadah yang tentunya lebih baik dari dunia dan seisinya, karena mereka mengetahui dekatnya hari kiamat setelah turunnya nabi Isa.

Semua orang telah mengetahui kegunaan harta di dunia, karenanya mereka berlomba-lomba mencarinya hingga melupakan mereka atau mereka lalai dari memperhatikan perkara-perkara penting yang berhubungan dengan harta. Perkara yang berhubungan dengan perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, hingga akhirnya mereka tidak lagi memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram.

Lalu bagaimana sikap islam terhadap harta ini? Ternyata permasalahan rezeki dan harta telah mendapatkan perhatian besar dalam al-Qur`an. Bayangkan kata rezeki dengan kata turunannya diulang sebanyak 123 kali dan kata harta (al-Maal) dengan kata turunannya diulang sebanyak 86 kali. Padahal Allah tidak mengulang-ulang satu kata kecuali demikian besar urgensinya untuk sang makhluk. Sehingga sudah selayaknya kaum muslimin mengenal dan mengerti bagaimana konsep islam terhadap harta dan sikap yang tepat menjadikan harta sebagai nikmat yang membawa kepada kebahagian dunia dan akherat. Minimal mengetahui harta adalah fitnah yang Allah ujikan kepada makhluk-Nya agar mereka dapat bersyukur dan tegak pada mereka hujjah dan penjelasan yang terang. Semua itu agar orang hidup dengan harta di atas ilmu dan dapat bersabar bila tidak memiliki harta ini.

Sehingga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan besarnya kecintaan manusia kepada harta dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat. ( HR. al-Bukhari no.6436, Muslim no.1049)

Dalam kehidupan dunia, kita dikelilingi oleh hal-hal atau benda-benda yang kita klaim sebagai milik kita. Keluarga, rumah, pekerjaan, panca indera, harta, ilmu pengetahuan, keahlian, dan lain sebagainya semua kita sebut sebagai milik kita. Tapi benarkah itu semua milik kita? Sejak kapan semua itu menjadi milik kita? Memang berbagai perangkat keduniaan semisal surat-surat resmi bisa menjadi bukti bahwa keluarga, pekerjaan, tanah, dan sebagainya itu adalah milik kita, namun status kepemilikan kita adalah pemilik nisbi. Pemilik mutlak dari segala sesuatu hanyalah Allah Swt.  Bahkan, diri kita yang lemah inipun adalah milik-Nya.

Hal ini sering dilupakan oleh kita. Kita sering lupa bahwa kita bukanlah pemilik mutlak, sampai-sampai kita bersikap seolah-olah kitalah pemilik sepenuhnya segala hal yang kita anggap milik kita. Sehingga, kita memperlakukannya sesuai dengan selera dan nafsu duniawi kita, bukan disesuaikan dengan keinginan sang pemilik mutlak, yaitu Allah Swt.

Hal itu juga terjadi pada harta. Kita sering lupa bahwa ia hanyalah titipan dari Allah Swt. Di balik itu sebenarnya ada tanggung jawab, ada amanah, bahkan ada sebagian darinya milik orang lain yang harus kita salurkan kembali.

Oleh karenanya, ada  beberapa hal yang mesti dicamkan oleh umat Islam dalam menyikapi harta benda, yaitu:

      a.    Harta adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri.

Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah swt. untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.

      b.    Harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.

Setiap kondisi – entah baik ataupun buruk -- yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah swt, dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang mesti ditunaikan. Harta yang tidak dinafkahkan di jalan Allah akan menjadi kotor, karena telah bercampur bagian halal yang merupakan hak pemiliknya dengan bagian haram yang merupakan hak kaum fakir, miskin, dan orang-orang yang kekurangan lainnya. Firman Allah Swt. dalam surah at-Taubah (9): 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

      c.    Harta adalah ujian.

Yang jadi ujian bukan hanya kemiskinan, tetapi kekayaan juga merupakan ujian. Persoalannya bukan pada kaya atau miskin, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghadapinya. Kedua kondisi itu ada pada manusia, yang tujuannya dibalik itu cuma satu, yaitu Allah ingin mengetahui siapa yang terbaik amalannya. Bagi yang berharta, tentunya, ada kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan terhadap harta itu.

      d.    Harta adalah hiasan hidup yang harus diwaspadai.

Allah Swt. menciptakan bagi manusia banyak hiasan hidup. Keluarga, anak, dan harta benda adalah hiasan hidup. Dengannya, hidup menjadi indah. Namun, patut disadari bahwa pesona keindahan hidup itu sering menyilaukan hingga membutakan mata hati dan membuat manusia lupa kepada-Nya, serta lupa kepada tujuan awal penciptaan hiasan itu. Semua itu sebenarnya merupakan titipan dan ujian. Allah Swt. berfirman di dalam surah at-Taghabun (64): 15:

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar”.

      e.    Harta adalah bekal beribadah.

Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Karenanya, segenap perangkat duniawi, baik yang meteril maupun yang non materil, tercipta sebagai sarana yang bisa digunakan manusia untuk beribadah. Kekayaan adalah salah satu sarana ibadah. Ia bukan hanya menjadi ibadah kala dinafkahkan di jalan Allah, ia bahkan sudah bernilai ibadah kala manusia dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya dan selebihnya untuk kemaslahatan umat. Jika harta dipergunakan sebaik-baiknya, pahala yang amat besar menanti. Namun jika tidak, siksa Allah amatlah pedih.

Ternyata harta itu bisa menjadi nikmat bila dikeluarkan dan digunakan untuk ketaatan kepada Allah dan akan menjadi bencana bila digunakan untuk keburukan. Hal ini tergantung kepada dari mana mendapatkannya dan bagaimana mengeluarkannya. Oleh karena itu, manusia akan ditanya dihari kiamat tentang hartanya dimana ia mendapatkannya dan kemana ia infakkan. Demikianlah, semoga kita tergolong orang-orang yang pandai menyikapi harta benda sesuai dengan ketentuan-Nya, amieeen. Barakallahu li wa lakum, walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.  

Do you Like this story..?

Get Free Email Updates Daily!

Follow us!

1 comment:

  1. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Aquran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar (TQS al-Taubah [9]: 111).

    Dalam Islam, jihad di jalan Allah memiliki kedudukan istimewa. Cukup banyak nash yang memerintahkan kaum Muslim untuk berjihad, baik dengan jiwa maupun harta. Demikian pula dengan keutamaannya di sisi Allah. Bagi pelakunya yang ikhlas semata mencari ridla-Nya dijanjikan dengan balasan amat menggiurkan, yakni surga. Ayat ini adalah salah satu di antaranya yang menjelaskan keutamaan jihad itu.

    ReplyDelete